KATA
PENGANTAR
Puji
syukur Alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmat dan karunia-NYA, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Civic
Education ini tepat ada waktunya. Makalah ini kami susun dalam ramgka memenuhi
salah satu syarat penilaian mata kuliah Civic Education yeng berjudul Sejarah
Perkembangan Demokrasi di Indonesia Pasca Kemerdekaan (1945-1959).
Pembuatan
makalah ini menggunakan metode studi pustaka, yaitu mengumpulkan dan mengkaji
materi Civic Education dari berbagai
referensi serta mengambil beberapa literatur dari internet. Kami gunakan metode pengumpulan
data ini, agar makalah yang kami susun dapat memberikan informasi yang akurat.
Kami
sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca, demi kesempurnaan makalah ini pada
penulisan-penulisan berikutnya.
Kami
ucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Iqbal sebagai pengajar mata kuliah
Civic Education yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini. Dan
tidak lupa pula kepada rekan-rekan yang telah ikut berpartisipasi. Sehingga
makalah ini selesai tepat pada waktunya.
Medan, Maret 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kemerdekaan
bangsa Indonesia adalah cita-cita rakyat Indonesia yang telah berhasil dicapai,
walaupun hal itu harus dicapai dengan segala kesulitan dan pengorbanan seluruh
rakyat Indonesia pada saat itu. Namun, walaupun telah merdeka dan diakui di
mata dunia, bangsa Indonesia pada saat itu harus menentukan masa depannya
sendiri. Pada masa itu, disamping kemerdekaan telah diraih, dari sisi lain
masih banyak terdapat kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan
tradisi-tradisi otoriter, maka banyak hal yang bergantung pada kearifan dan
nasib baik pemimpin negeri.
Masalah-masalah
sosial yang dihadapi bangsa Indonesia setelah terlepas dari belenggu penjajah,
sisa-sisa penderitaan rakyat mendorong para elite negeri untuk segera melakukan
penataan dalam hal pemerintahan dan institusi. Untuk menata dan membangun
birokrasi suatu negara yang baru mulai berdiri sangatlah susah, sangat sulit
untuk menentukan sistem pemerintahan yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Untuk itu pada tahun1950 tidak mengherankan bila percobaan demokrasi mengalami
kegagalan. Banyak terjadi korupsi, kesatuan wilayah mulai terancam, keadilan
sosial belum tecapai, banyaknya persoalan ekonomi yang belum terselesaikan.
Berbicara
mengenai demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan pasang
surut demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, dengan mempelajari sejarah dan
perkembangan demokrasi pasca kemerdekaan (1945-1959) atau demokrasi
parlementer, serta pelaksanaannya kita dapat mengambil pelajaran-pelajaran
untuk meningkatkan dan memperbaiki sistem pemerintahan yang sesuai untuk
diterapkan di negara Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud demokrasi parlementer (liberal)?
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan demokrsi pasca kemerdekaan (1945-1959) demokrasi
parlementer (liberal)?
3.
Apa
ciri-ciri demokrasi parlementer (liberal) ?
4.
Bagaimana
kekuatan sosial politik bangsa Indonesia masa perjuangan ?
5.
Bagaimana
sistem demokrasi awal kemerdekaan hingga demokrasi parlementer (liberal) ?
6.
Bagaimana
keadaan politik pada masa demokrasi parlementer (liberal) ?
7.
Bagaimana
keadaan ekonomi pada masa demokrasi paelementer (liberal) ?
8.
Apa
kelebihan demokrasi parlementer (liberal) ?
9.
Apa
kekurangan demokrasi parlementer (liberal) ?
10. Bagaimana kegagalan demokrasi
parlementer (liberal) ?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian demokrasi parlementer (liberal)
2.
Untuk
mengetahui sejarah perkembangan demokrasi pasca kemerdekaan (1945-1959) atau
demokrasi parlementer (liberal)
3.
Untuk
mengetahui ciri-ciri demokrasi parlementer (liberal)
4.
Untuk
mengetahui kekuatan sosial politik bangsa Indonesia masa perjuangan.
5.
Untuk
mengetahui sistem demokrasi awal kemerdekaan hingga demokrasi parlementer
(liberal)
6.
Untuk
mengetahui keadaan politik pada masa demokrasi parlementer (liberal)
7.
Untuk
mengetahui keadaan ekonomi pada masa demokrasi parlementer (liberal)
8.
Untuk
mengetahui kelebihan demokrasi parlementer (liberal)
9.
Untuk
mengetahui kekurangan demokrasi parlementer (liberal)
10. Untuk mengetahui kegagalan
demokrasi parlementer (liberal)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Demokrasi Parlementer (Liberal)
Demokrasi
parlementer (liberal) adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan
legislatif lebih tinggi daripada badan eksekutif. Kepala pemerintahan dipimpin
oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet
diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden
menjabat sebagai kepala negara. Demokrasi liberal
dikenal pula sebagai demokrasi
parlementer oleh karena berlangsung dalam sistem pemerintahan
parlementer ketika berlakunya UUD 1945 periode pertama, konstitusi RIS, dan
UUDS 1950.
B. Sejarah
perkembangan demokrasi di Indonesia Pasca Kemerdekaan (1945-1959)
Perkembangan
demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut (fluktuasi) dari masa kemerdekaan
sampai saat ini, selama 55 tahun perjalanan bangsa dan negara Indonesia,
masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam
berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara seperti dalam bidang politik,
ekonomi, hukum dan sosial budaya. Sebagai tatanan kehidupan, inti tatanan
kehidupan yang demokratis secara empiris terkait dengan persoalan pada hubungan
antara negara atau pemerintah dengan rakyat, atau sebaliknya hubungan rakyat
dengan negara atau pemerintah dalam posisi keseimbangan (equilibrium potition)
dan saling melakukan pengawasan (check and balance). Dengan kata lain, posisi
keseimbangan antara pemerintah atau negara dengan rakyat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara menghindari timbulnya tindakan kotor dan anarkis baik
dilakukan pemerintah atau negara terhadap rakyatnya, partai politik, militer,
maupun oleh rakyat sendiri terhadap negara atau dengan sesama anggota
masyarakat.[1]
Demokrasi pada masa ini dikenal
dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer yang mulai berlaku
sebulan sesudah kemerdekaan di proklamirkan dan kemudian diperkuat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia.
Persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh bersama dan tidak dapat
dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai.
Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk
dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Di Indonesia demokrasi ini
dilaksanakan setelah keluarnya Maklumat Pemerintah No. 14 Nov. 1945. Menteri
bertanggung jawab kepada parlemen. Demokrasi ini lebih menekankan pada
pengakuan terhadap hak-hak warga negara, baik sebagai individu maupun
masyarakat. Dan karenanya lebih bertujuan menjaga tingkat represetansi warga
negara dan melindunginya dari tindakan kelompok atau negara lain.[2]
Undang-Undang Dasar 1950
menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari
Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) beserta
menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi
partai-partai politik usia kabinet pada masa ini jarang dapat bertahan cukup
lama. Koalisi yang dibangun sangat gampang pecah. Hal ini mengakibatkan
destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi nasional yang sedang
dibangun. Persaingan tidak sehat antara faksi-faksi politik dan pemberontakan
daerah terhadap pemerintah pusat telah mengancam berjalannya demokrasi itu
sendiri.[3]
Umumnya kabinet pada masa
pra-pemilihan yang diadakan dalam tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama
dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan
politik oleh karena pemerintah tidak memperoleh kesempatan untuk melaksanakan
programnya. Pun pemilihan tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan,
malah tidak dapat menghindari perpecahan yang paling gawat antar pemerintah
pusat dan beberapa daerah.
Di samping itu ternyata ada
beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat
yang realistis dalam konstelasi politik, padahal merupakan kekuatan yang paling
penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau bertindak sebagai “rubber stamp
president” (presiden yang membubuhi capnya belaka dan tentara ) yang karena
lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pada periode ini kedudukan
parlemen sangat kuat dan pada gilirannya menguat pula kedudukan partai politik.
Karena itu segala hal yang terkait dengan kebijakan negara tidak terlepas dari
sikap kritis para anggota parlemen untuk mendebatnya baik melalui forum
parlemen untuk mendebatnya baik melalui forum parlemen maupun secara
sendiri-sendiri. Salah satu hal yang penting dalam periode ini adalah adanya
perdebatan yang tidak berkesudahan yang dilakukan oleh anggota parlemen dari
partai yang berbeda. Karena seperti diketahui bahwa pada periode ini tumbuh era
multi partai. Era multi partai diikuti oleh adanya alam kebebasan (tumbuhnya
paham liberalisme) yang tumbuh pada periode ini.
Faktor-faktor semacam ini,
ditambah dengan tidak mempunyai anggota-anggota partai-partai yang tergabung
dalam konstitusional untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara ketika
dalam membahas undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai
presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan
berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Keluarnya Dekrit Presiden tersebut
merupakan intervensi presiden terhadap parlemen. Dengan demikian sejak Dekrit
Presiden keluar masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.[4]
C. Ciri-Ciri
Demokrasi Parlementer (Liberal)
Ciri-ciri
demokrasi parlementer (liberal) yaitu :[5]
a.
Dikepalai
oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala
negara dikepalai oleh presiden/raja.
b.
Kekuasaan
eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi
berdasarkan Undang-Undang.
c.
Perdana
menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa)untuk mengangkat dan
memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departement dan non-departemen.
d.
Menteri-menteri
hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
e.
Kekuasaan
eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
f.
Kekuasaan
eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.
g.
Kontrol
terhadap negara, alokasi sumberdaya alam dan manusia dapat terkontrol.
h.
Kelompok
minoritas (agama, etnis) boleh berjuang, unuk memperjuangkan dirinya.
D. Kekuatan
Sosial Politik Bangsa Indonesia Masa Perjuangan
Fungsi sebagai kekuatan sosial
politik hakikatnya adalah tekad dan semangat pengabdian ABRI untuk ikut secara
aktif berperan serta bersama-sama dengan segenap kekuatan sosial politik
lainnya memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia dalam
mengisi kemerdekaan dan kedaulatannya.
Dalam
negara-negara demokrasi liberal, organisasi bersenjata mutlak tunduk kepada
kekuasaan sipil yaitu kekuasaan yang diberikan oleh rakyat melalui mekanisme
pemilihan, namun lain halnya dengan Indonesia. ABRI selain merupakan kekuatan
Hankam , juga merupakan kekuatan sosial politik. Lahirnya
ABRI sebagai kekuatan sosial politik di Indonesia berangkat dari perjalanan
sejarah bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan RI.
Pengalaman sejarah itu mengakibatkan bagaimana ABRI memandang dirinya yakni
sebagai alat revolusi dan alat negara, juga sebagai pejuang yang terpanggil
untuk memberikan jasanya kepada semua aspek kehidupan dan pembangunan bangsa.
Keterlibatannya dalam memerankan fungsi sosial politik ini, didorong oleh
kondisi internal (ABRI) dan kondisi eksternal termasuk lingkungan strategik
internasional.
Persepsi yang demikian timbul akibat dari
kekhasan lahir dan kiprahnya revolusi kemerdekaan dan sesudahnya, membawa
Dwifungsi sebagai suatu ciri khas sistem politik Indonesia. Dwi fungsi ABRI mengandung pengertian bahwa ABRI
mengemban dua fungsi, yaitu fungsi sebagai kekuatan Hankam dan fungsi sebagai
kekuatan sosial politik.Karena negara kita adalah negara demokrasi dan
seharusnya mempunyai sistem politik yang demokratik pula, maka dengan
sendirinya ABRI tidak dapat dibantah. [6]
E.
Sistem Demokrasi Awal Kemerdekaan
Hingga Demokrasi Liberal
1. 17
Agustus 1945 (setelah kemerdekaan Indonesia), Ir. Soekarno yang menjadi ketua
PPKI dipercaya menjadi Presiden Republik Indonesia.
2. 24 Agustus 1945, Ir. Soekarno dilantik oleh
Kasman Singodimedjo.
3. Pembentukan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bertujuan untuk membentuk tugas
Presiden.
4. 7
Oktober 1945 lahir memorandum yang ditandatangani oleh 50 orang dari 150 orang
anggota KNIP.
5. 16
Oktober 1945 keluar Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 .
6. 3
November 1945, keluar maklumat untuk kebebasan membentuk banyak partai sebagai
sebagai persiapan pemilu yang akan diselenggarakan bulan Juni 1946.
7. 14
November 1945 terbentuk susunan Kabinet berdasarkan sistem parlementer
(Demokrasi Liberal).
8. Undang-Undang
Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif
terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional
head) beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik.
9. Sistem
parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan di proklamirkan dan
kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950.
10. Sejak
berlakunya UUDS 1950 pada 17 Agustus 1950 dengan sistem demokrasi liberal
selama 9 tahun tidak menunjukkan adanya hasil yang sesuai dengan harapan
rakyat.
F. Keadaan
Politik Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal
Berikut
ini kabinet yang pernah berkuasa pada masa demokrasi liberal :[7]
1.
Kabinet
Natsir (7 September 1950-21 Maret
1951)
Kabinet
ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi)
sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi yang dipimpin
Masyumi.
Program kerja :
a.
Menggaitkan
usaha mencapai keamanan dan ketentraman
b.
Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat
c.
Mempersiapkan dan
menyelenggarakan pemilihan umum untuk Konstituante.
d.
Mencapai konsolidasi dan
penyempurnaan susunan pemerintahan serta membentuk peralatan negara yang kuat
dan daulat.
e.
Menyempurnakan
organisasi Angkatan perang dan pemulihan bekas – bekas anggota tentara dan
gerilya dalam masyarakat.
f.
Memperjuangkan
penyelesaian soal Irian Barat secepatnya.
g.
Mengembangkan dan
memperkokoh kesatuan ekonomi rakyat sebagai dasar bagi pelaksanaan ekonomi
nasional yang sehat.
h.
Membantu pembangunan
perumahan rakyat serta memperluas usaha – usaha meninggikan derajat kesehatan
dan kecerdasan rakyat
2.
Kabinet
Soekiman (27 April 1951-23 Februari
1952)
Merupakan kabinet koalisi antara
Masyumi dan PNI
Dipimpin oleh Soekiman
Wiryosanjoyo
Program kerja :
a.
Menjalankan
berbagai tindakan tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan
ketentraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara.
b.
Membuat
dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk
mempertinggi kehidupan sosial ekonomi rakyat dan mempercepat usaha penempatan
bekas pejuang dalam pembangunan
c.
Menyelesaikan persiapan pemilu untuk membentuk
Dewan Konstituante dan menyelenggarakan pemilu itu dalam waktu singkat serta
mempercepat terlaksananya otonomi daerah
d.
Menyampaikan
Undang-Undang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah
minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh
e.
Menyelenggarakan
politik luar negeri bebas aktif
f.
Memasukkan
Irian Barat ke wilayah RI secepatnya
3.
Kabinet
Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken
kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya.
Dipimpin oleh Mr. Wilopo
Program kerja :
a.
Mempersiapkan
pemilu
b.
Berusaha
mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan RI
c.
Meningkatkan
keamanan dan kesejahteraan
d.
Perbaharui
bidang pendidikan dan pengajaran
e.
Melaksanakan
politik luar negeri bebas dan aktif
4.
Kabinet
Ali Sastroamijoyo ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955
)
Kabinet ini merupakan koalisi
antara PNI dan NU.
Dipimpin oleh Mr. Ali
Sastroamijoyo
Program kerja :
a.
Menumpas
pemberontakan DI/TII di berbagai daerah
b.
Memperjuangkan
kembalinya Irian Barat kepada RI
c.
Menyelenggarakan
Konferensi Asia Afrika
d.
Meningkatkan keamanan
dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
e.
Pembebasan Irian Barat
secepatnya.
f.
Pelaksanaan politik
bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
g.
Penyelesaian Pertikaian
politik
5.
Kabinet
Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Dipimpin oleh Burhanuddin
Harahap.
Program kerja :
a.
Mengembalikan kewibawaan
pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat
kepada pemerintah.
b.
Melaksanakan pemilihan
umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya
parlemen baru.
c.
Masalah desentralisasi,
inflasi, pemberantasan korupsi.
d.
Perjuangan pengembalian
Irian Barat.
e.
Politik Kerjasama
Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
6.
Kabinet
Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet ini merupakan koalisi
antara tiga partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Dipimpin oleh Ali Sastroamijoyo.
Program kerjanya disebut Rencana
Pembangunan Lima Tahun, yaitu :
a.
Menyelesaikan
pembatalan KMB
b.
Pembentukan
provinsi Irian Barat
c.
Menjalankan
politik luar negeri bebas aktif
d.
Perjuangan pengembalian
Irian Barat
e.
Pembentukan
daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
f.
Mengusahakan perbaikan
nasib kaum buruh dan pegawai.
g.
Menyehatkan perimbangan
keuangan negara.
h.
Mewujudkan perubahan
ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
i.
Pemulihan keamanan dan
ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif
j.
Melaksanakan keputusan
KAA.
7.
Kabinet
Djuanda ( 9 April
1957-10 Juli 1959 )
Kabinet ini merupakan zaken
kabinet yatu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya.
Dibentuk karena kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-Undang Dasar
pengganti UUDS 1950 serta terjadinya perebutan kekuasaan politik.
Dipimpin oleh Ir. Juanda.
Program kerjanya disebut Panca
Karya (Kabinet Karya ), yaitu :
a.
Membentuk
dewan nasional
b.
Normalisasi
keadaan RI
c.
Melanjutkan
pembatalan KMB
d.
Memperjuangkan
Irian Barat kembali ke RI
e.
Mempercepat
pembangunan
G. Keadaan
Ekonomi Pada Masa Demokrasi Liberal
Meskipun Indonesia telah merdeka tetapi Kondisi Ekonomi Indonesia
masih sangat buruk. Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi
nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat.Faktor
yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut.[8]
1.
Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember
1949, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah
ditetapkan dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5
Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.
2.
Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu
sebesar 5,1 Miliar.
3.
Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi
yaitu pertanian dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor
itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia.
4.
Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia
melainkan dirancang oleh Belanda.
5.
Pemerintah Belanda tidak
mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi
sistem ekonomi nasional.
6.
Belum memiliki pengalaman
untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga ahli dan dana yang
diperlukan secara memadai.
7.
Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung
banyaknya pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah
Indonesia.
8.
Tidak stabilnya situasi
politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi
keamanan semakin meningkat.
9.
Kabinet terlalu sering
berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah direncanakan tidak
dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
10. Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
Masalah jangka pendek yang harus dihadapi pemerintah adalah :
1. Mengurangi jumlah uang yang beredar
2. Mengatasi Kenaikan biaya hidup.
1. Mengurangi jumlah uang yang beredar
2. Mengatasi Kenaikan biaya hidup.
Sementara masalah jangka panjang yang harus dihadapi adalah :
1. Pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.
1. Pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.
Upaya-upaya untuk mengatasi masalah ekonomi :[9]
1.
‘Gunting Sjafruddin’, yaitu pemotongan nilai
uang (sanering) pada 20 Maret 1950. Istilah ‘Gunting Sjafruddin’ ini melekat
pada era Sjafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan pada kabinet Hatta
II. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar
tingkat harga turun.
2.
Program
Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing.
Impor barang tertentu dibatasi dan memberikan lisensi impornya hanya pada
importir pribumi. Pemberian kredit juga diberikan pada perusahaan-perusahaan
pribumi agar mereka bisa berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional.
Tapi, usaha ini gagal. Pengusaha pribumi memiliki sifat yang cenderung
konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi.
3.
Nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951, lewat UU No 24
Tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
4.
Sistem
ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mendagri kala
itu, Iskak Cokrohadisuryo. Langkah yang dilakukan adalah menggalang kerja sama
antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha nonpribumi wajib
memberikan latihan-latihan kepada pengusaha pribumi. Sementara itu, pemerintah
menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini
pun tidak berjalan dengan baik. Pengusaha pribumi kurang berpengalaman sehingga
hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
5.
Pembatalan
sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda. Akibatnya, banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya, sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih
perusahaan-perusahaan tersebut.
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun, Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program
jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan
membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang
Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat
sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun
1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran
dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap).
Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
7.
Musyawarah Nasional Pembangunan, untuk
mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang
menyeluruh untuk jangka panjang.
H. Kelebihan
Demokrasi Parlementer (Liberal)
a. Pembuat kebijakan dapat ditangani
secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan
legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu
partai atau koalisi partai.
b. Garis tanggung jawab dalam
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
c. Adanya pengawasan yang kuat dari
parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi berhati-hati dalam
menjalankan pemerintahan.
d. HAM
dipegang teguh dan dijunjung tinggi oleh negara
I. Kelemahan
Demokrasi Parlementer (Liberal)
a. Kedudukan badan eksekutif/kabinet
sangat tergantung pada mayorits dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu
kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
b. Kelangsungan kedudukan badan
eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa
jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
c. Kabinet dapat mngendalikan
parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen
dan berasal dari meyoritas. Karena
pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat
menguasai parlemen.
d. Parlemen menjadi tempat
kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota
parlemen dimanfaatkan dan menjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau
jabatan eksekutif lainnya.
e. Multipartai,
yang mengakibatkan aspirasi yang belum tersalurkan seluruhnya dengan baik.
f. Kebebasan
mengeluarkan pendapat yang terlalu bebas, sehingga tidak ada
pertanggungjawabannya.
J. Kegagalan
Demokrasi Liberal (Parlementer)
Penyebab kegagalan :
1. Dominannya politik aliran,
artinya berbagai golongan politik dan partai politik sangat mementingkan
kelompok atau alirannya sendiri daripada mengutamakan kepentingan bangsa.
2.
Landasan
sosial ekonomi rakyat yang masih rendah.
3.
Tidak
mempunyai para anggota konstituante bersidang dalam menetapkan dasar negara
sehingga keadaan menjadi berlarut-larut.
4. Instabilitas
Negara karena terlalu sering terjadi pergantian kabinet. Hal ini menjadikan
pemerintah tidak berjalan secara efisien sehingga perekonomian Indonesia sering
jatuh dan terinflasi.
5. Timbul
berbagai masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di
seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan
APRA, Gerakan RMS akibat ketidakstabilan pemerintahan.
6. Sering
terjadi konflik dengan pihak militer seperti pada peristwa 17 Oktober 1952.
7. Memudarnya
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akibat lemahnya sistem pemerintahan.
8. Sering
terjadi konflik antar partai politik dalam pemerintahan untuk mendapatkan
kekuasaan.
9. Praktik
korupsi meluas. Pada masa ini tidak tindak pidana korupsi tidak bisa ditangani
karena dari oknum partai maupun oknum pemerintahan tidak luput dari melakukan
korupsi, bahkan mentri luar negri kala itu yang sekaligus sebagai arsitek
demokrasi terpimpin juga melakukan korupsi.
10. Kesejahteraan rakyat terbengkalai karena
pemerintah hanya terfokus pada pengembangan bidang politik bukan pada ekonomi.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Demokrasi liberal adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan
legislatif lebih tinggi daripada badan eksekutif.
2.
ciri-ciri demokrasi Parlementer (liberal) :
·
Dikepalai
oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala
negara dikepalai oleh presiden/raja.
·
Kekuasaan
eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi
berdasarkan Undang-Undang.
·
Perdana
menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa)untuk mengangkat dan
memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departement dan non-departemen.
·
Menteri-menteri
hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
·
Kekuasaan
eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
·
Kekuasaan
eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.
·
Kontrol
terhadap negara, alokasi sumberdaya alam dan manusia dapat terkontrol.
·
Kelompok
minoritas (agama, etnis) boleh berjuang, unuk memperjuangkan dirinya.
3.
Kabinet yang pernah berkuasa pada masa
demokrasi liberal :
·
Kabinet
Natsir (7 September
1950-21 Maret 1951)
·
Kabinet
Soekiman (27 April 1951-23 Februari
1952)
·
Kabinet
Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
·
Kabinet
Ali Sastroamijoyo ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955
)
·
Kabinet
Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
·
Kabinet
Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
·
Kabinet
Djuanda ( 9 April
1957-10 Juli 1959 )
4. Kelebihan demokrasi parlementer (liberal) :
·
Pembuat
kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian
pendapat antara eksekutif dan legislatif.
·
Garis
tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
·
Adanya
pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi
berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
·
HAM dipegang teguh dan dijunjung
tinggi oleh negara
5. Kelemahan demokrasi parlementer (liberal) :
·
Kedudukan
badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayorits dukungan parlemen
sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
·
Kelangsungan
kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai
dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
·
Kabinet
dapat mngendalikan parlemen.
·
Parlemen
menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif.
·
Multipartai, yang mengakibatkan
aspirasi yang belum tersalurkan seluruhnya dengan baik.
·
Kebebasan mengeluarkan pendapat yang
terlalu bebas, sehingga tidak ada pertanggungjawabannya.
6.
Penyebab kegagalan demokrasi parlementer (liberal) :
·
Dominannya
politik aliran
·
Landasan
sosial ekonomi rakyat yang masih rendah.
·
Tidak
mempunyai para anggota konstituante bersidang dalam menetapkan dasar negara
sehingga keadaan menjadi berlarut-larut.
·
Instabilitas Negara karena
terlalu sering terjadi pergantian kabinet.
·
Timbul berbagai masalah keamanan
dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia,
seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS akibat
ketidakstabilan pemerintahan.
·
Sering terjadi konflik dengan
pihak militer seperti pada peristwa 17 Oktober 1952.
·
Memudarnya kepercayaan rakyat
terhadap pemerintah akibat lemahnya sistem pemerintahan.
·
Sering terjadi konflik antar
partai politik dalam pemerintahan untuk mendapatkan kekuasaan.
·
Praktik korupsi meluas.
·
Kesejahteraan rakyat terbengkalai
karena pemerintah hanya terfokus pada pengembangan bidang politik bukan pada
ekonomi
DAFTAR
PUSTAKA
Azra,
Azyumardi, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2000
Mahfud,
Mohammad, Demokrasi dan Konstitusi
Indonesia. Jakarta : PT. Rinneka Cipta, 2003.
PUSLIT
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan
Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta
: IAIN Jakarta Pers, 2000.
Ubaedillah,
A dan Rozak, Abdul, Pendidikan Kewargaan
(Civic Education) Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta : UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
[1] Putri Ayu
Asmaningtyas,”Masa Demokrasi Parlementer”,Ayouk91.blogspot,diakses
dari http://ayouk91.blogspot.com/2012/01/masa-demokrasi-parlementer.html, pada tanggal 8
Maret 2012 pukul 21.22
pada tanggal 13 Maret 2012 pukul 21.41.
[3] Azyumardi Azra, Pendidikan Kewargaan, (Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2003),hlm.130.
[4] Puslit IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan
Kewargaan (civic education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta,
IAIN Jakarta Pers,2000), hlm.177-178.
[6] Umar Said,
http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/Makar%20politik%20terhadap%20kepemimpinan%20Suharto%20sangat%20diperlukan.htm diakses pada 18
Maret 2012 pukul 10.22
[7] http://fikaisman.blogspot.com/2011/01/indonesia-pada-masa-demokrasi-liberal.html diakses pada
tanggal 18 Maret 2012 pukul 05.22
[9] Drs. Puji
Suharjoko, http://www.babejoko.web.id/2011/06/16/ekonomi-pada-masa-demokrasi-libral.php
[10] bHee,http://whatteenagersneed.blogspot.com/2011/02/masa-pemerintahan-demokrasi-liberal-di.html diakses pada 16
Maret 2012 pukul 22.32
terima kasih
BalasHapusmakasiih bangett bermanfaaat baget buat tugas ;D wkwkwk
BalasHapusterimakasih sekali ^^
BalasHapustapi mau tanya dong kenapa pada masa parlementer ini banyak wilayah yang ingin memisahkan diri dari indonesia?